Bagi sebagian orang kitab kuning (kitab gundul) dianggap “menyeramkan” karena bahasanya terlalu berbelat-belit, rumit, dan banyak aturan. Pada akhirnya orang lebih memilih menghindar dan belajar bahasa lain yang dianggap lebih simple dan mudah dipelajari.
Padahal kitab kuning banyak merekam khazanah keilmuan klasik yang ditulis berabad-abad silam. Bahasa Arab yang digunakan Kitab Kuning merupakan bahasa al-Quran (Bahasa Arab fusha) yang merupakan prasyarat bagi orang yang mau memahami dan mempelajari Islam dari sumbernya langsung. Kitab kuning juga merupakan sumber primer bagi peneliti yang tertarik dan mau belajar studi Islam (Islamic Studies).
Pertanyaannya, bagaimana agar orang tertarik dan mudah belajar membaca Kitab Kuning? Pertanyaan inilah yang dijawab KH. Dr. Habib Syakur dalam bukunya “Cara Cepat Membaca Kitab Kuning Metode 33 (tiga tiga)” yang dibedah dalam diskusi di sela-sela acara Mufakat IV Tingkat Nasional di Pancor, Lombok, NTB, Rabu malam (20/07).
Syakur meyakinkan bahwa belajar Bahasa Arab itu sebetulnya mudah. Melalui bukunya ini, pengasuh Pondok Pesantren al-Imdad Jogjakarta ini menjamin tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa membaca kitab kuning.
Bagi Syakur, membaca merupakan salah satu keahlian berbahasa. Setidaknya terdapat empat maharah al-lughawiyyah (keahlian berbahasa), yaitu maharah al-istima’ (keahlian mendengar), maharah al-kalam (keahlian berbicara), maharah al-qira’ah (keahlian membaca), dan maharah al-kitabah (keahlian menulis). Syakur mengakui bahwa bukunya ini hanya membidik satu dari empat maharah itu, yaitu maharah al-qira’ah.
Namun, kata Syakur, bukan berarti keahlian lain tidak penting. Untuk memahami dan mendalami Bahasa Arab secara komprehensif, keempat maharah itu harus dikuasai. “Buku saya hanya memberikan kebutuhan praktis santri, pelajar, dan peserta didik yang mau belajar membaca kitab kuning,” tandasnya.
Syakur menegaskan, bahasa bukanlah ilmu, melainkan seni. Yang dibutuhkan hanyalah latihan dan kebiasaan. “Ibarat orang yang mau belajar mengemudikan mobil, yang dibutuhkan adalah cara atau metodenya, bukan malah diajari cara membengkel mobil, seperti yang selama ini berlaku di pesantren-pesantren. Akibatnya salah sasaran,” katanya.
Bagi yang tertarik dan mau belajar membaca kitab kuning secara praktis, kata Syakur, setidaknya harus memperhatikan tiga hal: Kosakata, kaidah, dan latihan. “Kaidah yang diberikan jangan terlalu banyak. Cari susunan Bahasa Arab yang paling mudah dan sering digunakan. Juga susunan atau tata bahasa yang sama dengan susunan bahasa Indonesia,” imbuhnya.
Ketiga hal itu harus dibaca dan dilulang-ulang minimal sehari dalam tiga minggu. Karena itulah buku ini disebut “metode 33”. Di samping karena di dalamnya memuat 33 tahapan yang harus ditempuh dalam belajar membaca kitab kuning.
Melalui metode yang diciptakannya ini, Syakur menegaskan bahwa buku ini bukan berarti mau menghilangkan pembelajaran yang selama ini sudah ada, melainkan hanya mendasari pembelajaran yang sudah berlaku agar lebih cepat. “Saya menjamin tidak mengganggu konsep nahwu yang selama ini berlaku. Nahwu itu bengkel. Saya hanya menawarkan caranya saja,” katanya.
Namun, Syakur mengingatkan, kuncinya adalah motivasi. Dia mengaku bahwa buku yang ditulisnya hanya menawarkan kemampuan bukan keahlian. “Agar lebih tahqiq dan mahir berbahasa Arab tentunya dibutuhkan latihan dan pembelajaran yang lebih tekun dan lebih serius lagi,” pungkasnya. (pip_mal_mediacentermufakatIV2011)
0 komentar:
Posting Komentar